Rabu, 11 April 2012

SEJAK KAPAN "BATAK" ADA DI TOBA?

Batak [1]  sebagai "nama" baru ada sejak Si Raja Batak [2]  diperkirakan sekitar tahun 1200-an berdasarkan perhitungan generasi garis keturunannya.  Semua keturunan Si Raja Batak inilah yang disebut sebagai Suku Batak.

Asal usul Si Raja Batak, dalam hal ini masih "samar" jika ditelusuri dari bukti-bukti sejarah. Diperkirakan Batak dari rumpun Proto-Melayu, yang berasal dari sebuah wilayah di daratan Cina Selatan yang berimigrasi ke Asia Tenggara.  Menetap di Barus yang terkenal sebagai pelabuhan internasional sejak abad ke-6 [3]  .

Barus menjadi wilayah dominasi Kerajaan Sriwijaya, tetapi akibat serangan tentara Cola di India 1025 kepada Sriwijaya, Barus turut mengalami kehancuran.  Dari puing kehancuran, penduduknya mencari kehidupan baru termasuk Si Raja Batak ke wilayah Toba (Toba adalah wilayah lembah atau pegunungan di sekitar Danau Toba).
Tahun 1293 M sampai dengan 1500 M, Kerajaan Majapahit menganeksasi wilayah Kerajaan Sriwijaya di Sumatera bagian Utara [4].  Ekspedisi terbesar Majapahit dipimpin Patih Gajah Mada menjejakkan kaki sampai di wilayah aliran muara sungai Asahan (1331-1364).  Selama tiga puluh tiga tahun pasukan Majapahit berada di Sumatera bagian Utara.  Menurut versi sejarah tarombo Batak, salah satu keturunan Si Raja Batak, yaitu cicitnya (anak dari cucunya) bernama Tuan Sorbadibanua yang tinggal di Lobu Parserahan, Balige tidak begitu jauh dari sungai Asahan, beristrikan (istri kedua) wanita keturunan Majapahit --dialek Batak: Basopaet--, yaitu Siboru Basopaet.  Dari perkawinan ini lahir tiga orang anak, yaitu: Si Raja Sumba, Si Raja Sobu dan Si Raja Naipospos.
Jadi, 
1.  Nama "Batak" dan keturunan Si Raja Batak mendiami Toba sekitar tahun 1200-an, dan asal usul "Batak" telah ada sejak abad sebelum Masehi tetapi belum menyandang nama "Batak."  
2. Generasi "Batak" bernama Tuan Sorbadibanua, cicit dari Si Raja Batak,  beristrikan Siboru Basopaet. Selanjutnya keturunan marga Batak dari garis ini berdarah campuran Batak dan Jawa.   Marga-marga dari keturunan ini marhula-hula kepada "Suku Jawa dari pihak Siboru Basopaet."  [5]


[1] Batak  [2] "Masa Kegelapan (Tingki Ni Lumlam) [3]  Mengenai Barus, bahkan pendapat lain mengatakan sejak abad sebelum Masehi, Pansur, Fansur, Fansuri, Fanchour atau Barus, Barusai, Barousai sudah dikenal sebagai kota pelabuhan dan perdagangan internasional yang ramai, [4] Majapahit Empire, http://en.wikipedia.org/wiki/Majapahit-Empire.  [5] Lihat Tarombo keturunan Si Raja Sumba, Si raja Sobu dan Si raja Naipospos
 

RELIGI

SIPELEBEGU

Sipelebegu, Pelebegu atau Hasipelebeguan berasal dari kata “pele” dan “begu”. Pele artinya memberikan sesaji, sedangkan begu adalah roh.  Sipelebegu adalah pelaku kegiatan "pemberian sesaji"  kepada roh baik berupa  makanan, minuman atau sesuatu benda ke makam-makam, pohon besar, juga ke tempat yang diyakini keramat (sakral) atau angker (seram, menakutkan). Pelebegu atau Mamele Begu =  kegiatan pemberian  sesaji. Hasipelebeguan adalah hal-hal tentang pemberian sajen atau sesajen (pelean) kepada roh-roh. "Pelean" pemberian atau sumbangan, berasal dari kata "lean" = beri, berikan, sampaikan. 

Sipelebegu, Pelbegu, Hasipelebeguan bukan sebagai suatu aliran kepercayaan Batak, dan bukan sebagai agama di kalangan Suku Batak kuno. Suku Batak kuno sering dikatakan sebagai Sipelebegu karena kegiatan pemberian persembahan berupa sesaji yang ditujukan kepada roh-roh dalam suatu ritual.
   
Agama Batak Kuno disebut "Malim" dan penganutnya "Parmalim," menganut kepercayaan monotheisme percaya dan menyembah Ompu Mulajadi Nabolon, Sang Maha Pencipta sebagai Tuhan Yang Maha Esa.*)   


Dalam konsep religi Batak, terdapat istilah Tondi, Sahala dan Begu.*)  Begu adalah tondi dari orang yang telah meninggal. Tondi tersebut wujudnya roh atau arwah. Arwah orang terhormat, arwah leluhur yang bermartabat dan mulia disebut Sumangot atau Simangot.   Menurut kepecayaan Batak kuno, status "begu" bisa meningkat ke taraf yang lebih tinggi menjadi Sumangot.  Sedangkan "Parsimangotan" adalah tempat sakral yang diyakini kediamannya roh  leluhur.

Selain itu, termasuk dalam golongan begu, yaitu makhluk-makhluk halus seperti jin dan hantu. Makhluk ini menurut sifatnya, ada yang baik dan yang jahat.  Diantara yang jahat seperti   begu ganjang  (hantu panjang) yang bisa disuruh-suruh untuk berbuat jahat; begu antuk dan begu laos (hantu pementung dan hantu berkeliaran yang menyebabkan suatu penyakit epidemi/wabah, mis. kolera). **) 

Makhluk halus berwujud roh lainnya yang berdiam pada tempat keramat atau angker (menyeramkan, menakutkan)  seperti  pada pohon yang tinggi, pada gunung yang tinggi, jurang yang dalam, hutan belantara, batu-batu besar, tepian sungai, danau, dsb disebut Sombaon,  Sisombaon dan Solobean. Tempat-tempat kediamannya dinamakan parsombaonan.  

Konsep lain yang identik dengan Sombaon yakni Hagogoon, Habonaran, Pangisi,  Boraspati, atau Borpati, seperti hagogoon/habonaran/pangisi/boraspati/borpati ni: tano;  luat; huta, dsb untuk penyebutan pada penguasa "alam gaib" di suatu lahan/tanah, daerah, kampung yang masing-masing mempunyai kekuatan keduniawian "hagogoon ni haportibion" yang fana. Misal: Boru Saniang Naga, penguasa air. Boraspati ni tano dan boraspati ni jabu disimbolkan dengan totem cicak/tokek atau kadal sebagai penguasa tanah dan penguasa gaib suatu rumah.  

Konsepsi di atas dapat dipahami sebagai pengetahuan bahwa "sejak dahulu, Suku Batak (Leluhur Batak) telah menyadari adanya eksistensi makhluk lain ciptaan Sang Maha Pencipta (Ompu Mulajadi Nabolon) yang  "berwujud halus" dan tidak terlihat, hidup di bumi ini --di luat portibi on-- bersama manusia dalam dimensi berbeda, memiliki karakter tersendiri, berakal dan berkehendak, bersosialisasi, serta mendiami tempat tertentu atau yang tersembunyi," 
________
*) Klik juga Tondi dan Sahala
**) Begu Antuk dan Begu Laos lebih cenderung bukan berwujud "begu" tetapi "idiom" untuk menamakan "vektor" yang menyebabkan dan menyebarkan penyakit.
 

DATU, SIBASO, GURU DAN TUAN

Datu (dukun) merupakan anggota dari kelompok masyarakat territorial huta berasal dari garis keturunan marga yang menempati huta, atau secara gineakologi marga.  Setiap marga atau kelompok masyarakat dalam satu huta mempunyai minimal seorang Datu

Datu sebagai seseorang yang mempunyai kemampuan di luar daya normal manusia awam (kemampuan supranatural/paranormal) di dalam struktur masyarakat Batak tradisional mendapat posisi terhormat di kalangan kelompok masyarakatnya selain karena kompetensi di bidang membaca dan menulis aksara Batak, ia memegang fungsi dan peran penting  “sesuai jurusan kualifikasi keilmuaannya.”

Seorang datu tidak serba menguasai semua bidang-bidang hadatuon. Biasanya  terdapat keahlian khusus yang menonjol di bidangnya. Misalnya Datu Partaoar, dengan ramuan-ramuannya lebih ahli di bidang obat penyembuh dan penawar racun dari pada sebagai ahli nujum. Seorang pemimpin atau “Raja” umumnya juga memiliki kemampuan perdatuan (sahala hadatuon). *)

Fungsi dan peran Datu di dalam masyarakat Batak kuno, sebagai:
  1. Pemimpin ritual dan religi Batak.
  2. Tabib dengan ramuan tradisional yaitu: 
          - Tambar = obat tradisional dari racikan dedaunan, akar-akar 
                              atau batang tanaman (ramuan herbal);
          - Taoar = berupa ramuan dari racikan berbagai tambar dan bahan-bahan lain 
                           yang berkhasiat untuk obat penawar racun, guna-guna atau 
                           obat penyembuh penyakit.
  1. Ahli Nujum, menggunakan parhalaan (kalender Batak), memperkirakan hari baik yang tepat (maniti ari) untuk melakukan sesuatu ulaon seperti pesta; memasuki rumah baru dan sebagainya. Ia juga dapat melakukan prakiraan (ramalan) berdasarkan gejala-gejala alam dan menggunakan media tertentu.
  2. Penasihat dalam permasalahan hubungan antara anggota masyarakat dalam huta atau antar huta,  membentengi secara magis suatu huta atau dalam perang mempunyai aji-ajian sitorban dolok (ilmu meruntuhkan gunung).
Datu umumnya pria, Datu perempuan disebut Sibaso.  Sibaso umumnya berperan sebagai “dukun persalinan” yang ahli dibidang kebidanan, penyakit wanita dan ramuan-ramuan obat tradisional (tambar).  Sibaso memiliki kemampuan seperti Datu, tetapi perannya tidak sebesar Datu pada upacara keagamaan. Pada ritual tertentu Sibaso berfungsi mendampingi Datu sebagai medium dalam “kesurupan roh.”

Seseorang yang memiliki tingkatan keahlian di atas Datu disebut Guru. Guru adalah gelar kehormatan karena para datu lain mengakui keunggulannya bahkan meminta petunjuk atau berguru kepadanya selaku suhu/mahaguru atau datunya Datu.

Tingkatan yang lebih tinggi di atas Guru adalah Tuan, yakni selain sebagai datu dan guru yang sakti; memegang posisi sebagai pemimpin tertinggi di kelompoknya; disegani, dihormati dan diakui sebagai sesepuh oleh pemimpin kelompok lain diluar marga atau hutanya. (Tuan = yang terhormat).

Sisingamangaraja termasuk yang bergelar Tuan, atau lengkapnya Ompu Tuan Sisingamangaraja.  Bandingkan juga dengan Guru Tatea Bulan (putra pertama Si Raja Batak) dan Tuan Sori Mangaraja (cucu Si Raja Batak).**)
____________________________

*)  Klik Sahala
**) Gelar Guru, Tuan dan Datu banyak terdapat pada nama-nama Leluhur Batak, diantaranya lihat pada tulisan  Silsilah Siraja Batak dan bandingkan juga dengan Ompu/Ompung sebagai panggilan hormat/yang dihormati (Klik Ompu atau Ompung).  Datu dalam konsep tradisional, dalam masyarakat modern sekarang manifestasinya bisa seorang Dokter, Pemimpin/Pejabat, Tokoh Agama, Ahli Astronomi, Guru, dan Para Pakar lainnya.  Datu dalam konotasi "negatif" terutama pada masa "jahiliyah" di Batak (Klik:  Masa Kegelapan (Tingki ni Lumlam)
 
  
SAHALA

Sahala merupakan kemuliaan, kharisma, hikmat, kewibawaan, kebesaran otoritas, penuh kesaktian. Sahala sebagai kekuatan yang membentuk kualitas tondi seseorang.  Sahala hasangapon (kemuliaan), sahala hamoraon (kekayaan),  sahala hadatuon (kekuatan adikodrati) hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. 

Berbeda dengan tondi, tidak semua orang memiliki sahala.  Jenis sahala, kuantitas dan kualitasnya berbeda-beda pada setiap orang.  Sahala kepemimpinan membuat seorang pemimpin berwibawa dan mampu memimpin, sahala kebijaksanaan membuat orang lebih bijaksana dibanding lainnya, demikian juga sahala seorang pemimpin lebih besar dan lebih kuat dari sahala masyarakat awam.

Pemimpin yang kuat mempunyai sahala; begitu juga orang tua terhadap anak-anaknya,  hula-hula terhadap boru-nya.  Sahala sebagai kualitas tondi berasal atau sebagai rahmat dari Ompu Mulajadi na Bolon.
 

TONDI

Menurut kepercayaan suku Batak tradisional, tondi sebagai inti pokok kehidupan dan jati diri manusia.  Setiap manusia hidup mempunyai tondi. Tondi adalah roh yang mengikat nafas kehidupan  manusia, memberikan daya jiwa dan kepribadian, menentukan nasib manusia dan   memberi arah serta petunjuk bagi kehidupan seseorang.  Atau dengan kata lain tondi wujudnya roh yang menempati tubuh seseorang sebagai satu kesatuan, membentuk pribadi seseorang, memberikan daya hidup yang menghubungkan nyawa dengan jiwa, badan dan pikiran serta nurani yang membisiki hati manusia untuk berbuat.
 
Tondi bisa memihak tetapi bisa juga melawan terhadap manusia.  Sakit, kemalangan dan sial bisa terjadi akibat pertentangan antara tondi dengan badan. Untuk itu tondi perlu dijaga dan dipelihara agar senantiasa dalam keadaan baik.

Tondi sesekali dapat meninggalkan tubuh manusia hidup disaat mimpi bahkan ketika sadar sekalipun.  Kepergian tondi bisa karena terkejut, akibat musibah, kecelakaan yang menimpa pada seseorang.  Kepergian tondi dari tubuh untuk sementara mengakibatkan sakit, atau seseorang tertimpa bahaya.  Jika terlalu lama pergi meninggalkan tubuh, daya hidup tondi akan hilang sehingga orang tersebut akhirnya meninggal dunia.

Tondi dapat juga terperangkap atau disandera oleh roh halus di tempat-tempat angker dan keramat, karena salah melangkah, atau melanggar tabu ketika berada di tempat itu. Usaha agar tondi seseorang kembali harus dengan melaksanakan upacara spiritual yang disebut mangalap tondi (menjemput tondi) atau manghirap tondi (menarik tondi yang pergi) di bawah bimbingan seorang Datu (dukun).  Cara lain adalah mangupa tondi (memberdayakan tondi yang lemah) dengan menaburkan boras pir ni tondi (beras untuk menguatkan tondi) ke atas kepala untuk memulihkan tondi yang terkejut, misalnya oleh orang tua kepada anaknya yang baru mengalami musibah.  Berbagai istilah lain seperti: pahothon tondi (mempererat/mengokohkan tondi), atau papirhon tondi (memperkuat tondi).

Tondi juga terdapat pada makhluk hidup lainnya, pada binatang dan tumbuhan. Tondi pada binatang memberinya nafas kehidupan dan kemampuan bertindak sesuai dengan instinknya, sehingga binatang tersebut dapat mencari makan, beranak-pinak, memelihara anaknya, membuat sarang, mengetahui bahaya dan mempertahankan diri untuk kehidupannya.   Nyawa dan naluri atau instink hewani tersebut adalah tondi binatang.

Pada tanaman, tondi menimbulkan pertumbuhan, kesuburan, berbuah.  Untuk tanaman budidaya seperti padi, selain faktor tanah dan alam, sikap si pemilik tanaman mulai dari menanam hingga perawatan mempengaruhi kesuburannya.  Seperti halnya bintang peliharaan, sikap yang baik pada tanaman akan memberikan semangat pada tondinya untuk tumbuh subur.  Sehingga ada pesan jika menanam padi harus dengan hati yang bersih dan ceria, tidak boleh dengan bersungut-sungut atau suasana hati yang amarah agar hasilnya baik.

Dalam bahasa Batak sehari hari orang tua menyebut anaknya "tondinghu," artinya "belahan jiwaku." 

 
 

AEK SIPANGOLU (AIR KEHIDUPAN)


Aek Sipangolu (Foto 2011)
 

Nama sebuah air terjun di Bakara. Mata airnya berasal dari telaga batu cadas di lereng pegunungan. Asal mula air ini berkat kesaktian Raja Sisingamangaraja. Kala itu Sang Raja dalam perjalanan pulang dari Manduamas-Barus menuju Lumban Raja-Bakara dengan membawa seekor Gajah Putih (Gaja Putih) yang langka sebagai hadiah kerajaan dari Pamannya yang bernama Raja Uti. Karena perjalanan jauh dan teriknya matahari, timbul dahaga dan Gaja Puti sekarat kehausan, sementara air Tao Toba jauh terletak di kaki gunung yang terjal. Raja Sisingamangaraja berdoa kepada Ompu Mulajadi Na Bolon, kemudian menancapkan tombak Hujur Siringis ke batu cadas, dan memancarlah air dari tempat tersebut. Air tersebut diminum langsung ke mulut sehingga dinamakan (semula) sebagai Binanga Bibir (Telaga Bibir), dan disebut juga sebagai Aek Sipaulak Hosa (air pelepas dahaga).

Binanga Bibir menjadi dikenal sejak sekitar tahun 1950-an, ketika seorang lumpuh setelah mandi di air tersebut terbukti pulih dan dapat berjalan kembali. Khasiat air tersebut tersebar dan banyak masyarakat menggunakannya sebagai obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Karena daya penyembuh ajaibnya, dinamakan Aek Sipangolu artinya air (aek) yang memberi kehidupan/yang menghidupkan (sipangolu).

AGAMA BATAK (UGAMO BATAK)

Sebelum masuknya agama-agama ke Tanah Batak (pra 1820-1850), masyarakat Batak mempunyai kepercayaan religi tertentu yaitu Malim sebagai ugamo Batak (agama Batak). Penganut “Malim” disebut “Parmalim” (kaum alim/saleh). Agama ini bukan “Parbaringin”, karena sebutan Parbaringin adalah untuk pendeta penyelenggara ritual pertanian; dan bukan si Pelbegu/Pelebegu (Pel/Pele = memberi sajen, begu=roh). 

Agama “Malim” percaya dan menyembah Ompu Mulajadi Na Bolon (Sang Maha Pencipta. Mulajadi=Pencipta, Na Bolon= Sang Akbar/Maha Besar). Ompu Mulajadi Na Bolon sebagai Debata (Tuhan) yang menciptakan semesta raya, bumi beserta isinya, termasuk manusia. Menurut “Parmalim,” Ompu Mulajadi Na Bolon sebagai penguasa tertinggi di jagad raya, yang tidak bermula dan tidak berakhir (Na so marmula jala Na so marujung), bertahta di tempat maha tinggi di langit yang tertinggi (hundul di tatuan, di ginjang ni ginjangan, di langit ni langitan).

Agama Malim: mewajibkan ritual “mangorom” (puasa/saum) pada waktu tertentu berdasarkan parhalaan (penanggalan/kalender Batak, menurut perhitungan peredaran bulan mengelilingi bumi); mengharamkan (subang) mengkonsumsi daging hewan yang tidak disembelih (bangkai hewan), daging babi atau anjing dan darah.

Saat ini Malim atau Parmalim disebut sebagai "Aliran Kepercayaan Batak"
 
 

AGAMA BATAK (UGAMO BATAK) II

Agama asli Batak adalah Malim *), sebagai agama yang dianut oleh Raja Sisingamangaraja di Bakara. Kepercayaan ini masih hidup ditengah pengikutnya, meskipun di tempat asalnya di Bakara sudah jarang dijumpai **).  Agama Malim percaya dan mengakui Allah Yang Esa, yaitu Ompu Mulajadi Nabolon sebagai Sang Maha Pencipta, Khalik dan Sang Penjadi Semesta. ***)

Raja Sisingamangaraja yang dikenal dengan kesaktiannya dalam berbagai catatan sejarah dan kisah kehidupannya sebelum bertindak senantiasa terlebih dahulu memohon kepada Ompu Mulajadi Nabolon, sehingga terjadilah mukjizat, seperti pada cerita asal mula terjadinya air terjun "Aek Sipangolu" di Bakara. ****)

Kepercayaan kepada Ompu Mulajadi Nabolon ini telah ada sejak Raja Gumeleng-Geleng (Raja Uti).  Saat lahir, wujudnya tidak sempurna, tidak mempunyai kaki dan tangan, tetapi tekun beribadah kepada Ompu Mulajadi Na Bolon.  Berkat ketulusan hatinya, yang putih suci, murni tidak ternoda, atau na puti sohaliapan na puti sohapupuran, doanya terjawab dan ia dapat bersalin rupa menjadi manusia sempurna.  Raja Uti, disebut sebagai Raja Hatorusan, “hatorusan patik dohot uhum”, Raja na pitu hali malim, na pitu hali solam  yakni Raja Utusan, yang tujuh kali alim dan tujuh kali soleh, yang membawa wahyu untuk memberikan pengajaran kepada umat keturunan Batak di bidang hukum dan aturan yang berasal dari Ompu Mulajadi Nabolon.*****). 

Amanah ini kemudian diteruskan kepada keponakannya Sisingamangaraja menjadi generasi berikutnya "Raja Hatorusanhatorusan ni Debata, hatorusan ni sombaon, hatorusan ni patik dohot uhum."  Sebagai penerima wahyu dan utusan Ompu Mulajadi Nabolon untuk menata dan menjaga kehidupan masyarakat yang tertib dan beradab, mewakili segala yang dihormati, penegak peraturan dan hukum.  Sebagai Raja na pitu hali malim na pitu hali solamsebagai pemimpin religi, seorang Raja yang  tujuh kali alim dan tujuh kali saleh.******)

Dari cerita tersebut dapat dilihat nilai-nilai ajaran, sifat dan suri tauladan Leluhur Batak yang alim dan saleh bahwa "segala sesuatu yang dimohonkan dengan iman, kesungguhan dan ketulusan hati akan menjadi mukjizat nyata atas izin Tuhan Yang Maha Kuasa.

________________________________
Lihat dengan Klik : 
*) Ugamo Batak,  **)  Sebagai informasi berita, pada blog ini ditambahkan menu BERITA PILIHAN untuk membaca informasi terkini mengenai Kegiatan Agama Malim (Okezone Travel, 20 Februari 2012).  ***) Bandingkan dengan membaca Buku "Dendang Bakti" yang diinformasikan di Blog ini, Rabu 27 April 2011.  Dendang Bakti;  ****) Aek Sipangolu (Air Kehidupan)*****) Raja Uti******) Sisingamangaraja: Kedudukan, Fungsi dan Wewenang
 

SEJARAH DAN PANDANGAN TENTANG BATAK OLEH BANGSA BARAT

Suku Batak meskipun terisolasi selama ratusan tahun, sempat menjadi perhatian pedagang atau sejarawan Barat mengenai adanya wilayah atau suku Batak, beberapa di antaranya yakni:
  1. Niccolo de Conti, tahun 1449, seorang pedagang dari Venesia, yang berkelana selama 25 tahun di Asia bagian Selatan. Ia menyebut Batech untuk Suku Batak yang bermukim di salah satu bagian pulau Sumatra ("In a certain part of this island (Sumatra) called Batech, …."). 
  2. Odoardus Barbosa, 1516, dari Lisbon, Portugis "Terdapat kerajaan lain di bagian Selatan yang merupakan sumber utama emas, dan ke pedalamannya lagi, disebut Aaru (berdekatan dengan wilayah Batta..." ("There is another kingdom to the southward, which is the principal source of gold; and another inland, called Aaru (contiguous to the Batta country), …." )
  3. Tahun 1563Joao de Barros, seorang sejarawan dan pegawai pemerintah Portugis untuk wilayah India, menyebut Batas untuk suku Batak ("The natives of that part of the island which is opposite to Malacca, who are called Batas,…."). 
  4. Augustin de Beaulieu, 1622, seorang Jenderal Perancis yang pernah ditugaskan dengan ekspedisi bersenjata ke Hindia Timur, mencatat, "Penduduknya independen, dan berbicara dengan bahasa yang berbeda dengan kaum Melayu. ("The inland people are independent, and speak a language different from the Malayan...")
  5. Deskripsi tentang Suku Batak, wilayah dan budayanya pertama kali dilakukan oleh William Marsden, tahun 1783, dalam bukunya “The History of Sumatra: Containing An Account of the Government, Laws, Customs and Manners of the Native Inhabitants,”  terbit tahun 1811.  Ia seorang pegawai pemerintah Inggris yang pernah bertugas di Bencoolen (Bengkulu), Sumatra, selama 10 tahun, menyebut Batak dengan Battas sebagai salah satu penduduk Sumatra bagian Utara (The Battas, inhabitants of the northern end of Sumatra). Marsden menyatakan alam, keindahan negeri, serta adat istiadat Suku Batak sangat luar biasa (extraordinary land, beauty, and custom). Suku Batak mempunyai istiadat (customs) dan pola kehidupan (manners) masyarakat yang luar biasa istimewa (genius), asli (original) dan berbeda dengan suku-suku lain di Sumatra.
  6. Tahun 1842,  Franz Willem Junghuhn, seorang ahli geografi German membuat peta wilayah Mandailing, Angkola, Padang Lawas, Sipirok-Silindung, Pangaribuan, Sipahutar, Sigotom, Bila dan Kualuh (Daerah Asahan – Labuhan Batu).  Tahun 1847 diterbitkan dalam bukunya, “Bescheiburg der Batalander” atau sumber lain menyebutkan laporannya, “Die Batalander auf Sumatra.” Tulisan Junghuhn membangkitkan minat Belanda ke tanah Batak.
  7. Tahun 1927 Pemerintah Hindia Belanda secara resmi menugaskan J.C. Vergouwen untuk meneliti adat dan hukum tanah Batak.  Hasil penelitian Vergouwen baru dipublikasikan pada umum dalam bahasa Inggris tahun 1964 dalam buku, “The Social Organization and Customary Law of the Toba Batak of Northern Sumatra.”

Pustaha Laklak, Buku Kayu Aksara Batak

Pustaha laklak sering juga dikatakan buku Laklak. Buku Laklak ialah suatu buku pustaha dimana isinya berisi aksara Batak. Buku Laklak ini terbuat dari kulit kayu. Jika dilihat sekilas akan sangat mirip seperti buku dengan ukuran yang agak besar namun disusun dengan rapi berupa lipatan-lipatan kayu. Dan sampul dari Pustaha Laklak ini digorga atau ditambahkan gambar-gambar ornament yang menggambarkan isi dari bukunya.  “Boja” digunakan sebagai tintanya dan ujung pisau atau “tarugi” yang digunakan untuk menuliskan aksara Batak tersebut di kulit kayu. Boja ialah sejenis “gota” atau getah kayu.

Pustaha Laklak, Buku Aksara Batak
Pustaha Laklak, Buku Aksara Batak

Dahulu kala, sering kali orang mengoleskan getah ini ke gigi mereka, karena menurut mereka gigi mereka akan terlihat lebih bagus dan lebih kuat. Tentu buku Laklak ini juga memiliki fungsi tersendiri bagi orang Batak dan ini tergantung dari penulisnya. Pada umumnya Pustaha Laklak menuliskan ilmu seperti Parhalaan yaitu ilmu perbintangan atau alam. Aji-ajian atau persembahan. Pangubation atau ilmu pengobatan. Datu atau ilmu perdukunan. Pangulubalang atau tempat aji-ajian. Sordam atau ilmu untuk mempelajari alat yang digunakan untuk memanggil roh. Begu atau ilmu mengenai hantu.

Biasanya nama dari suatu Pustaha Laklak ini sesuai atau hampir mirip dengan nama pembuatnya. Seperti Pustaha Laklak yang ditulis oleh Guru Tinating ni Aji dikatakan menjadi Pustaha ni Guru Tinating ni Aji. Pustaha pertama bagi orang Batak yaitu Pustaha yang diterima oleh Guru Tatea Bulan dan Si Raja Isumbaon yaitu Pustaha yang bernama Surat Ogung dan Surat Tombaga Holing.

Ada juga cerita yang mengatakan bahwa pada jaman dahulu kala turunlah si Mangara Pintu dari kayangan dan dia menerapkan apa yang dia dapatkan di kayangan di bumi ini. Dan hal pertama yang ingin dia lakukan ialah menuliskan aksara Batak. Dengan tujuan sebagai pengingat baginya akan apa yang telah diajarkan oleh Batara Guru kepadanya.

Kemudian dia mulai berpikir tentang media yang akan digunakannya menuliskan semua ilmunya. Kemudian dalam mimpinya ia berbicara dengan Batara Guru yang menyarankannya untuk menuliskan semua yang dia dapatkan termasuk kepintarannya. Dan Batara Guru menunjukkan 1 kayu yang bernama kayu Tompitompi. Disitulah ia menuliskan nya. Ia menggunakan darah ayam dan dicampur dengan getah kayu sebagai tintanya. Bambu yang ditajamkan sebagai media untuk menulis ke kulit kayu.

Menurut banyak orang, dibutuhkan banyak waktu dalam pengerjaan buku Laklak ini karena tahap pengeringan kulit kayu adalah tahap yang paling lama. Dan dikatakan semua yang dipelajari  si Mangara Pintu dari Batara Guru dikerjakan sampai selesai sekitar Sembilan tahun Sembilan bulan Sembilan hari. Awalnya buku ini dikatakan Laklak kemudian berubah menjadi Bungku Laklak hingga akhirnya dikatakan Permulaan Pengetahuan.

Setelah buku nya selesai, banyak orang yang menjadikan si Mangara Pintu menjadi orang yang sering dicari. Hal ini membuatnya menjadi orang yang lebih tertarik untuk berkelana. Dan tidak lupa tentunya untuk membawa buku Laklaknya. Namun suatu ketika Batara Guru ingin menyampaikan pesan kembali kepada Mangara Pintu tentang Batak dan mengenai tungkot si Sia Lagundi. Pesannya untuk menuliskan bagaimana hukum kepada Mula Jadi, bagaimana itu Batak dan segala makhluk beserta lingkungannya. Sedangkan tungkot si Sia Lagundi ialah tongkat yang akan digunakan Mangara Pintu untuk melindunginya dari pengaruh buruk. Namun Mangara Pintu terlalu asik dengan perjalanannya sampai ia lupa untuk kembali ke kampung halamannya. Semua orang kehilangan jejak Mangara Pintu dan sampai sekarang tidak ada lagi orang yang tau dimana buku Laklak yang asli tersebut.  Itulah kata sebagian orang.
Sebagian info nya dikutip dari Buku Sulu Ni Hapistaran.

DEBATA (DEWATA)

Pemahaman akan segala sesuatu mengenai kedewataan disebut hadebataon.  Kisah turun temurun Suku Batak menceritakan adanya Debata (Dewata) dan sumber lain ada juga yang menyebut Naibata untuk Dewi.  

Debata merupakan suatu roh yang memiliki kekuatan, kekuasaan dan keunggulan melebihi manusia.   Menurut konsep kepercayaan Batak Kuno terdapat Debata Na Tolu atau Debata Si Tolu Sada (Dewata Trinitas/Dewata Tritunggal), yaitu :
  1. Debata Batara Guru sebagai penguasa Banua Ginjang 
  2. Debata Soripada (Debata Balasori) sebagai penguasa Banua Tonga
  3. Debata Mangala Bulan sebagai penguasa Banua Toru
Selain Debata Na Tolu, terdapat Debata Asi-asi, dewata maha pengasih dan penyayang.

Manifestasi dewata dalam adat dan tata kehidupan sosial Batak ialah  Dalihan Na Tolu.  Batara Guru diwakili oleh Hula-hula, Soripada oleh Boru dan Mangala Bulan oleh dongan sabutuha atau dongan tubu. Yang keempat adalah Debata Asi-asi diwakili oleh Sihal-sihal.

Fungsi dan peran Debata Na Tolu: "na tolu suhu na tolu harajaon, na manggonggom langit dohot tano on dohot jolma manisia" yakni memelihara dan menjaga keseimbangan ketertiban makrokosmos, banua ginjang, banua tonga dan banua toru, dan kehidupan manusia, sebagai kuasa aktif yang diberi  wewenang oleh  Ompu Mulajadi Na Bolon.

Ompu Mulajadi Na Bolon, sebagai Maha Pencipta, pencipta langit bumi dan isinya, termasuk dewata dan umat manusia; Maha Kuasa, supremasi tertinggi di semesta, Yang Tidak Berawal dan Tiada Berakhir (Na so Marmula, Na so Marujung). 

Sebelum kejatuhan manusia ke dalam pengingkaran, antara dewata dan manusia sangat dekat, tidak ada pembatas. Manusia tinggal di Banua Ginjang, selaku anak/keturunan dewata.  Manusia kemudian ingkar dengan ‘membantah dan melanggar titah’ sehingga menjadi ternoda, tidak abadi, selanjutnya menghuni mayapada (Banua Tonga).