Rabu, 11 April 2012

RELIGI

SIPELEBEGU

Sipelebegu, Pelebegu atau Hasipelebeguan berasal dari kata “pele” dan “begu”. Pele artinya memberikan sesaji, sedangkan begu adalah roh.  Sipelebegu adalah pelaku kegiatan "pemberian sesaji"  kepada roh baik berupa  makanan, minuman atau sesuatu benda ke makam-makam, pohon besar, juga ke tempat yang diyakini keramat (sakral) atau angker (seram, menakutkan). Pelebegu atau Mamele Begu =  kegiatan pemberian  sesaji. Hasipelebeguan adalah hal-hal tentang pemberian sajen atau sesajen (pelean) kepada roh-roh. "Pelean" pemberian atau sumbangan, berasal dari kata "lean" = beri, berikan, sampaikan. 

Sipelebegu, Pelbegu, Hasipelebeguan bukan sebagai suatu aliran kepercayaan Batak, dan bukan sebagai agama di kalangan Suku Batak kuno. Suku Batak kuno sering dikatakan sebagai Sipelebegu karena kegiatan pemberian persembahan berupa sesaji yang ditujukan kepada roh-roh dalam suatu ritual.
   
Agama Batak Kuno disebut "Malim" dan penganutnya "Parmalim," menganut kepercayaan monotheisme percaya dan menyembah Ompu Mulajadi Nabolon, Sang Maha Pencipta sebagai Tuhan Yang Maha Esa.*)   


Dalam konsep religi Batak, terdapat istilah Tondi, Sahala dan Begu.*)  Begu adalah tondi dari orang yang telah meninggal. Tondi tersebut wujudnya roh atau arwah. Arwah orang terhormat, arwah leluhur yang bermartabat dan mulia disebut Sumangot atau Simangot.   Menurut kepecayaan Batak kuno, status "begu" bisa meningkat ke taraf yang lebih tinggi menjadi Sumangot.  Sedangkan "Parsimangotan" adalah tempat sakral yang diyakini kediamannya roh  leluhur.

Selain itu, termasuk dalam golongan begu, yaitu makhluk-makhluk halus seperti jin dan hantu. Makhluk ini menurut sifatnya, ada yang baik dan yang jahat.  Diantara yang jahat seperti   begu ganjang  (hantu panjang) yang bisa disuruh-suruh untuk berbuat jahat; begu antuk dan begu laos (hantu pementung dan hantu berkeliaran yang menyebabkan suatu penyakit epidemi/wabah, mis. kolera). **) 

Makhluk halus berwujud roh lainnya yang berdiam pada tempat keramat atau angker (menyeramkan, menakutkan)  seperti  pada pohon yang tinggi, pada gunung yang tinggi, jurang yang dalam, hutan belantara, batu-batu besar, tepian sungai, danau, dsb disebut Sombaon,  Sisombaon dan Solobean. Tempat-tempat kediamannya dinamakan parsombaonan.  

Konsep lain yang identik dengan Sombaon yakni Hagogoon, Habonaran, Pangisi,  Boraspati, atau Borpati, seperti hagogoon/habonaran/pangisi/boraspati/borpati ni: tano;  luat; huta, dsb untuk penyebutan pada penguasa "alam gaib" di suatu lahan/tanah, daerah, kampung yang masing-masing mempunyai kekuatan keduniawian "hagogoon ni haportibion" yang fana. Misal: Boru Saniang Naga, penguasa air. Boraspati ni tano dan boraspati ni jabu disimbolkan dengan totem cicak/tokek atau kadal sebagai penguasa tanah dan penguasa gaib suatu rumah.  

Konsepsi di atas dapat dipahami sebagai pengetahuan bahwa "sejak dahulu, Suku Batak (Leluhur Batak) telah menyadari adanya eksistensi makhluk lain ciptaan Sang Maha Pencipta (Ompu Mulajadi Nabolon) yang  "berwujud halus" dan tidak terlihat, hidup di bumi ini --di luat portibi on-- bersama manusia dalam dimensi berbeda, memiliki karakter tersendiri, berakal dan berkehendak, bersosialisasi, serta mendiami tempat tertentu atau yang tersembunyi," 
________
*) Klik juga Tondi dan Sahala
**) Begu Antuk dan Begu Laos lebih cenderung bukan berwujud "begu" tetapi "idiom" untuk menamakan "vektor" yang menyebabkan dan menyebarkan penyakit.
 

DATU, SIBASO, GURU DAN TUAN

Datu (dukun) merupakan anggota dari kelompok masyarakat territorial huta berasal dari garis keturunan marga yang menempati huta, atau secara gineakologi marga.  Setiap marga atau kelompok masyarakat dalam satu huta mempunyai minimal seorang Datu

Datu sebagai seseorang yang mempunyai kemampuan di luar daya normal manusia awam (kemampuan supranatural/paranormal) di dalam struktur masyarakat Batak tradisional mendapat posisi terhormat di kalangan kelompok masyarakatnya selain karena kompetensi di bidang membaca dan menulis aksara Batak, ia memegang fungsi dan peran penting  “sesuai jurusan kualifikasi keilmuaannya.”

Seorang datu tidak serba menguasai semua bidang-bidang hadatuon. Biasanya  terdapat keahlian khusus yang menonjol di bidangnya. Misalnya Datu Partaoar, dengan ramuan-ramuannya lebih ahli di bidang obat penyembuh dan penawar racun dari pada sebagai ahli nujum. Seorang pemimpin atau “Raja” umumnya juga memiliki kemampuan perdatuan (sahala hadatuon). *)

Fungsi dan peran Datu di dalam masyarakat Batak kuno, sebagai:
  1. Pemimpin ritual dan religi Batak.
  2. Tabib dengan ramuan tradisional yaitu: 
          - Tambar = obat tradisional dari racikan dedaunan, akar-akar 
                              atau batang tanaman (ramuan herbal);
          - Taoar = berupa ramuan dari racikan berbagai tambar dan bahan-bahan lain 
                           yang berkhasiat untuk obat penawar racun, guna-guna atau 
                           obat penyembuh penyakit.
  1. Ahli Nujum, menggunakan parhalaan (kalender Batak), memperkirakan hari baik yang tepat (maniti ari) untuk melakukan sesuatu ulaon seperti pesta; memasuki rumah baru dan sebagainya. Ia juga dapat melakukan prakiraan (ramalan) berdasarkan gejala-gejala alam dan menggunakan media tertentu.
  2. Penasihat dalam permasalahan hubungan antara anggota masyarakat dalam huta atau antar huta,  membentengi secara magis suatu huta atau dalam perang mempunyai aji-ajian sitorban dolok (ilmu meruntuhkan gunung).
Datu umumnya pria, Datu perempuan disebut Sibaso.  Sibaso umumnya berperan sebagai “dukun persalinan” yang ahli dibidang kebidanan, penyakit wanita dan ramuan-ramuan obat tradisional (tambar).  Sibaso memiliki kemampuan seperti Datu, tetapi perannya tidak sebesar Datu pada upacara keagamaan. Pada ritual tertentu Sibaso berfungsi mendampingi Datu sebagai medium dalam “kesurupan roh.”

Seseorang yang memiliki tingkatan keahlian di atas Datu disebut Guru. Guru adalah gelar kehormatan karena para datu lain mengakui keunggulannya bahkan meminta petunjuk atau berguru kepadanya selaku suhu/mahaguru atau datunya Datu.

Tingkatan yang lebih tinggi di atas Guru adalah Tuan, yakni selain sebagai datu dan guru yang sakti; memegang posisi sebagai pemimpin tertinggi di kelompoknya; disegani, dihormati dan diakui sebagai sesepuh oleh pemimpin kelompok lain diluar marga atau hutanya. (Tuan = yang terhormat).

Sisingamangaraja termasuk yang bergelar Tuan, atau lengkapnya Ompu Tuan Sisingamangaraja.  Bandingkan juga dengan Guru Tatea Bulan (putra pertama Si Raja Batak) dan Tuan Sori Mangaraja (cucu Si Raja Batak).**)
____________________________

*)  Klik Sahala
**) Gelar Guru, Tuan dan Datu banyak terdapat pada nama-nama Leluhur Batak, diantaranya lihat pada tulisan  Silsilah Siraja Batak dan bandingkan juga dengan Ompu/Ompung sebagai panggilan hormat/yang dihormati (Klik Ompu atau Ompung).  Datu dalam konsep tradisional, dalam masyarakat modern sekarang manifestasinya bisa seorang Dokter, Pemimpin/Pejabat, Tokoh Agama, Ahli Astronomi, Guru, dan Para Pakar lainnya.  Datu dalam konotasi "negatif" terutama pada masa "jahiliyah" di Batak (Klik:  Masa Kegelapan (Tingki ni Lumlam)
 
  
SAHALA

Sahala merupakan kemuliaan, kharisma, hikmat, kewibawaan, kebesaran otoritas, penuh kesaktian. Sahala sebagai kekuatan yang membentuk kualitas tondi seseorang.  Sahala hasangapon (kemuliaan), sahala hamoraon (kekayaan),  sahala hadatuon (kekuatan adikodrati) hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. 

Berbeda dengan tondi, tidak semua orang memiliki sahala.  Jenis sahala, kuantitas dan kualitasnya berbeda-beda pada setiap orang.  Sahala kepemimpinan membuat seorang pemimpin berwibawa dan mampu memimpin, sahala kebijaksanaan membuat orang lebih bijaksana dibanding lainnya, demikian juga sahala seorang pemimpin lebih besar dan lebih kuat dari sahala masyarakat awam.

Pemimpin yang kuat mempunyai sahala; begitu juga orang tua terhadap anak-anaknya,  hula-hula terhadap boru-nya.  Sahala sebagai kualitas tondi berasal atau sebagai rahmat dari Ompu Mulajadi na Bolon.
 

TONDI

Menurut kepercayaan suku Batak tradisional, tondi sebagai inti pokok kehidupan dan jati diri manusia.  Setiap manusia hidup mempunyai tondi. Tondi adalah roh yang mengikat nafas kehidupan  manusia, memberikan daya jiwa dan kepribadian, menentukan nasib manusia dan   memberi arah serta petunjuk bagi kehidupan seseorang.  Atau dengan kata lain tondi wujudnya roh yang menempati tubuh seseorang sebagai satu kesatuan, membentuk pribadi seseorang, memberikan daya hidup yang menghubungkan nyawa dengan jiwa, badan dan pikiran serta nurani yang membisiki hati manusia untuk berbuat.
 
Tondi bisa memihak tetapi bisa juga melawan terhadap manusia.  Sakit, kemalangan dan sial bisa terjadi akibat pertentangan antara tondi dengan badan. Untuk itu tondi perlu dijaga dan dipelihara agar senantiasa dalam keadaan baik.

Tondi sesekali dapat meninggalkan tubuh manusia hidup disaat mimpi bahkan ketika sadar sekalipun.  Kepergian tondi bisa karena terkejut, akibat musibah, kecelakaan yang menimpa pada seseorang.  Kepergian tondi dari tubuh untuk sementara mengakibatkan sakit, atau seseorang tertimpa bahaya.  Jika terlalu lama pergi meninggalkan tubuh, daya hidup tondi akan hilang sehingga orang tersebut akhirnya meninggal dunia.

Tondi dapat juga terperangkap atau disandera oleh roh halus di tempat-tempat angker dan keramat, karena salah melangkah, atau melanggar tabu ketika berada di tempat itu. Usaha agar tondi seseorang kembali harus dengan melaksanakan upacara spiritual yang disebut mangalap tondi (menjemput tondi) atau manghirap tondi (menarik tondi yang pergi) di bawah bimbingan seorang Datu (dukun).  Cara lain adalah mangupa tondi (memberdayakan tondi yang lemah) dengan menaburkan boras pir ni tondi (beras untuk menguatkan tondi) ke atas kepala untuk memulihkan tondi yang terkejut, misalnya oleh orang tua kepada anaknya yang baru mengalami musibah.  Berbagai istilah lain seperti: pahothon tondi (mempererat/mengokohkan tondi), atau papirhon tondi (memperkuat tondi).

Tondi juga terdapat pada makhluk hidup lainnya, pada binatang dan tumbuhan. Tondi pada binatang memberinya nafas kehidupan dan kemampuan bertindak sesuai dengan instinknya, sehingga binatang tersebut dapat mencari makan, beranak-pinak, memelihara anaknya, membuat sarang, mengetahui bahaya dan mempertahankan diri untuk kehidupannya.   Nyawa dan naluri atau instink hewani tersebut adalah tondi binatang.

Pada tanaman, tondi menimbulkan pertumbuhan, kesuburan, berbuah.  Untuk tanaman budidaya seperti padi, selain faktor tanah dan alam, sikap si pemilik tanaman mulai dari menanam hingga perawatan mempengaruhi kesuburannya.  Seperti halnya bintang peliharaan, sikap yang baik pada tanaman akan memberikan semangat pada tondinya untuk tumbuh subur.  Sehingga ada pesan jika menanam padi harus dengan hati yang bersih dan ceria, tidak boleh dengan bersungut-sungut atau suasana hati yang amarah agar hasilnya baik.

Dalam bahasa Batak sehari hari orang tua menyebut anaknya "tondinghu," artinya "belahan jiwaku." 

 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar